welcome

Minggu, 01 Juli 2012

Dieng oh Dieng…

Visit Dieng 2012


Chapter 1: Welcome to Telaga Warna

Berangkat pagi benar kami menuju dieng. Dengan kendaraan roda dua kami membelah jalanan tak peduli kabut pekat yang menghadang kami. Semangat membara mampu melupakan rasa lapar karena berangkat tanpa memakan sebutir nasi. Namun logika harus terus dipakai, kami berhenti di kota tetangga bernama Wonosobo. Kota asri dengan penduduk yang ramah tamah. Kami berhenti di sebuah warung makan untuk mengisi perut. Jauh kami dari rumah, tak urung kami memesan nasi soto. Memakannya bersama-sama dengan penuh canda dan tawa menambah selera makan kami. Ditambah tempe kemul yang hangat khas kota ini, menambah lahap kami makan nasi soto ini. Setelah kami cukup sarapan, kami memulai perjalanan lagi karena Dieng sudah menunggu di sana. Lekas kami tancap gas ke tujuan. Disekitar, kami melihat hamparan pemandangan yang hijau menyegarkan mata. Gunung yang sebelumnya hanya bisa kami nikmati dari kejahuan dari kota asal kami, sekarang seakan ada di depan mata kami. Tangan ini seperti bisa menyentuh membelai pegunungan itu karena jarak yang begitu dekat. Sungguh karya Tuhan yang luar biasa. Sungguh benar disepanjang perjalanan kami disuguhkan dengan panorama indah memanjakan mata. Udara disana terasa sangat dingin. Namun begitu disayangkan, udara yang segar ternodai oleh polusi udara dari kenalpot kendaraan bermesin diesel pengangkut manusia.  Alam sudah memberikan begitu segarnya udara, kenapa harus dikotori ulah manusia.
          Sampailah kami di Dieng. Poster selamat datang bertuliskan “Welcome to Telaga Warna”, menambah rasa penasaran kami tentang ada apa di dalam sana. Tak membuang waktu, kami bergegas masuk melalui pintu utama. Kami melangkah dan tak lama kemudian kami melihat hamparan telaga yang sangat memukau. Dan bila diamati, telaga itu memang benar- benar berwarna, seperti namanya. Ada yang berwarnakan hijau dan ungu, sungguh sangat indah. Kami bersama- sama mengitari telaga itu. Menyusuri jalan setapak di sekeliling telaga. Tak lupa kami mengabadikan setiap momen berlatarbelakangkan telaga itu. Sungguh beruntung karena pada saat itu cuaca sangat mendukung. Mentari bersinar terang tanpa kawalan awan mendung. Namun udara masih terasa dingin dengan aroma belerang khas telaga yang terbentuk karena proses vulkanik.

Chapter 2: Top of The World      

Daerah Telaga Warna ini merupakan kawasan wisata yang terkenal. Banyak sekali wisatawan yang jauh- jauh datang untuk menikmati pamandangan. Kami juga menjumpai para petani yang beraktivitas mengairi lahan pertaniannya. Bekerja tak peduli lelah untuk mencari penghasilan dari hasil pertanian mereka. Sesaat kami ragu akan jalan setapak yang kami ambil, dari pada kami tersesat dan tak tau arah kami memutuskan untuk bertanya pada salah satu petani yang sedang duduk- duduk di tepi telaga. Kami bertanya, bapak petani menjawab dengan ramahnya. Dan tak disangka bapak petani itu berkenan untuk bangkit berdiri, melangkah dan menunjukan jalan. Kali ini bukan jalan untuk pulang tetapi jalan ke arah bukit yang menawarkan pemandangan yang katanya lebih indah. Kami mengikuti bapak petani itu menaiki bukit yang lumayan terjal. Sering kami istirahat untuk mengambil nafas karena memang jalannya cukup jauh dan terus menanjak. Tangan kami harus bergandengan untuk menaiki jalan batu satu dengan yang lain. Sungguh perjalanan yang cukup melelahkan. Akhirnya kami sampai di puncak bukit itu dan wow…benar sekali apa kata bapak petani itu. Di puncak itu mata kami bisa melihat hamparan pemandangan telaga dari atas. “We were like on the top of the world”. Mungkin itu adalah kata- kata yang bisa mewakili perasaan kami saat itu. Benar- benar pemandangan yang menakjubkan. Lelah dan letih seakan sirna dan senyum selalu muncul di wajah kami saat itu. Ingin rasanya berlama- lama di puncak menikmati angin yang meniupkan udara yang sangat segar. Namun apa daya kami tak punya waktu lama untuk bersantai diatas sana. Kami harus mengatur dan memanfaatkan waktu kami sebaik mungkin agar nanti kami tak kemalaman saat perjalanan pulang. Perlu di ketahui bahwa perjalanan pulang pada malam hari sangatlah berbahaya terlebih rute pulang melewati daerah kebun teh Tledung yang terkenal akan kabutnya yang pekat dan dingin yang turun setelah hari mulai petang. Kami bermaksud untuk menghindari kabut itu sehingga kami harus rela turun bukit karena waktu sudah menunjukan pukul 12.44 WIB. Akhirnya kami turun, masih dalam kawalan bapak petani tadi namun kami tidak melewati rute yang sama. Kami menyusuri rute jalan setapak yang berbeda namun masih sarat dengan jalan bebatuan nan terjal yang memompa adrenalin. Rute yang kami ambil kali ini tetap saja mengitari telaga yang sama yaitu Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Tetap menyuguhkan panorama yang luar biasa.
          Di tengah perjalanan turun, tak kami sangka ada bangunan besar yang dibangun sengaja untuk menampilkan film singkat sejarah Dieng, bangunan itu diberi nama Dieng Plateu Theater. Dengan harga tiket masuk yang tak terlalu mahal, wisatawan bisa menikmati sekaligus menambah wawasan tentang sejarah yang terjadi di daerah Dieng. Kami berenam memang tak ada niat untuk menontonnya karena kendala waktu. Kami hanya menikmati hangatnya kentang goreng yang dijual disekitar Dieng Plateu Theater. Kentang asli Dieng memang mempunyai cita rasa yang berbeda dengan kentang dari daerah lain. Apa lagi di goreng langsung di tempat dan dimakan di udara yang dingin, makin lahap kami memakannya cukup untuk mengganjal perut. Disekitar tak hanya kentang goreng yang dijual namun juga ada yang menjajakan souvenir bertuliskan Dieng untuk buah tangan. Lanjut kami berjalan turun masih dengan kudapan kentang goreng ditangan.
Akhirnya kami sampai di bawah, capek dan lapar memang sudah tak tertahankan. Kami berhenti di sepetak tanah yang datar cocok utuk mengistirahatkan kaki. Di situ sang kekasih mulai membuka tas berisikan lauk pauk buatannya sendiri dibantu oleh sang ibu. Tak ada rasa egois, makanan itu dibagi sama rata. Beberapa daging ayam pedas dan lauk lain yang menggoda selera langsung kami lahap tanpa ada sisa. Tidak kalah beberapa kue pencuci mulut, kami nikmati bersama. Setelah perut dapat asupan dan mengalirkan energi ke seluruh tubuh, kami siap meneruskan perjalanan yang sempat terhenti. Masih ada waktu sedikit untuk mengekplor daerah ini. Kami berjalan lagi dan menemukan beberapa gua- gua yang konon digunakan untuk  bermeditasi. Memang bisa dibayangkan, bila dahulu daerah ini masih sangat sepi jauh dari peradaban. Tak heran di sini ditemukan beberapa tempat untuk bermeditasi mencari pencerahan.

Chapter 3: Say Goodbye

          Tepat pukul 14.46 WIB, kami keluar dari pintu keluar Telaga Warna. Senyum masih terlihat di wajah kami karena ada kepuasan batin yang mendalam walaupun lelah dan letih mendera. Tak jauh dari situ ada penduduk lokal yang menjajakan makanan dan souvenir yang lebih banyak jumlahnya dan lebih beraneka ragam. Dapat dijumpai berbagai makanan khas Dieng seperti buah carica ataupun cabai raksasa yang kulitnya mirip seperti buah tomat. Terlihat aneh memang, namun sudah merupakan makanan khas yang patut dibeli untuk oleh- oleh karena tidak kita jumpai di daerah lain. Setelah cukup membeli oleh- oleh, kami duduk di jok tunggangan kami masing- masing dan siap untuk memulai perjalanan pulang.
          Kalau sudah sampai Dieng, sepertinya ada yang kurang kalau belum menginjakan kaki ke wisata kebun teh Tambi. Memang tempat itu terdengar sangat sederhana yaitu hanya hamparan kebun teh, tetapi jangan lah kaget kalau tempat ini masih sanggup menawarkan panorama nan hijau yang tak kalah memanjakan mata dan udara sejuk bebas dari polusi. Cocok untuk orang- orang kota yang berbeban berat karena pikiran dan mata terasa segar kembali di sini. Jangan lupa untuk mengabadikan diri berlatarbelakangkan kebun teh ini.
          Setelah berfoto ria, berat rasanya untuk meninggalkan tempat seperti ini. Namun waktu sudah menunjukan pukul 16.23 WIB. Sudah waktunya kami benar- benar pulang. Meskipun lelah namun masih ada hasrat untuk kembali berpetualang ke Dieng dan sekitarnya lagi karena sekarang ini tempat indah dan sejuk seperti ini sudah sangat jarang kita jumpai. Banyak tempat yang harusnya bisa kita pertahankan hijau dan menjadi paru- paru kota malah hancur diterpa semen dan beton yang keras. Gedung- gedung mewah menjulang tinggi, hitam aspal ada dimana- mana hanya untuk memfasilitasi mobil- mobil mewah tak peduli kelangsungan hidup sang alam yang terus terhimpit dan tertindas oleh roda zaman.

Chapter 4: Dari Kabut Sampai Ambarawa

          Meliak- liuk berkendara menyusuri jalan pegunungan. Tatapan pun linu karena cahaya lampu yang menyilaukan. Fokus ke depan hindari lubang- lubang mematikan aspal jalanan. Ketakutan akan kabut di Tledung pun terjawab sudah. Terlalu malam kami lewat, kabut pun turun. Namun beruntung bagi kami karena kabut tak turun dengan pekatnya, sepertinya kabut masih berbelas kasihan kepada kami. Jarak pandang masih bisa jauh ke depan. Namun yang menyiksa adalah udara malam khas pegunungan yang dingin menusuk tulang. Perlu kami berhenti sejenak untuk bertukar kaos tangan bahkan kami merangkap tambahan baju, jaket atau apapun yang bisa membuat badan sedikit lebih hangat.
Perjalanan yang menyiksa itu pun berakhir saat kami sampai di kota yang bernama Temanggung. Udara yang lebih hangat bisa kami rasakan dengan jelas. Tak lagi menggigil, berkendara pun jauh lebih santai. Namun jangan terlena dengan kehangatan kota ini, setelah melewati kota Temanggung, kami harus bertarung dengan mesin- mesin berat pengangkut pasir yang bergerak lambat. Diterpa solar yang hitam pekat tak membuat kami mundur untuk sampai di tujuan yaitu rumah kami. Harus sering menoleh belakang, menunggu kawan yang tertinggal di antara kawanan monster- monster besi penggilas aspal. Mata harus jeli menerabas celah- celah kecil di antara roda- roda besar agar cepat sampai di tujuan. Sungguh ironi memang, ingin istirahat meluruskan punggung namun harus mengambil resiko yang begitu besar.
          Tekad dan niat berhasil membawa kami di kota yang bernama Ambarawa. Disini kami istirahat dan bercerita masih bertemakan petualangan di Dieng. Rasa capek sepertinya tak menghalangi lidah kami yang masih bertenaga untuk terus bercerita tentang pengalaman yang sangat luar biasa ini. Ini akan menjadi kenangan yang tak terlupakan.  
Rasa lelah kami terbayar lunas dengan kepuasan berpetualang. Keindahan alam ciptaan Tuhan dan canda tawa kebersamaan adalah pesan yang dapat kami ambil dari petualangan kami kali ini. Tunggu kami di kisah petualangan- petualangan kami berikutnya…..SEE YOU…

Thx to:

Dewanti (iloveu)
Tyas
Febrika
Fatra
Nandu

                

2 komentar:

  1. waaahh....kamu aja deh yang jadi novelis...aku yang jadi kritikusna....wkwkwkwkwk

    BalasHapus