Chapter 1: Welcome to Telaga Warna
Berangkat pagi benar kami
menuju dieng. Dengan kendaraan roda dua kami membelah jalanan tak peduli kabut
pekat yang menghadang kami. Semangat membara mampu melupakan rasa lapar karena
berangkat tanpa memakan sebutir nasi. Namun logika harus terus dipakai, kami
berhenti di kota tetangga bernama Wonosobo. Kota asri dengan penduduk yang
ramah tamah. Kami berhenti di sebuah warung makan untuk mengisi perut. Jauh
kami dari rumah, tak urung kami memesan nasi soto. Memakannya bersama-sama
dengan penuh canda dan tawa menambah selera makan kami. Ditambah tempe kemul
yang hangat khas kota ini, menambah lahap kami makan nasi soto ini. Setelah
kami cukup sarapan, kami memulai perjalanan lagi karena Dieng sudah menunggu di
sana. Lekas kami tancap gas ke tujuan. Disekitar, kami melihat hamparan
pemandangan yang hijau menyegarkan mata. Gunung yang sebelumnya hanya bisa kami
nikmati dari kejahuan dari kota asal kami, sekarang seakan ada di depan mata
kami. Tangan ini seperti bisa menyentuh membelai pegunungan itu karena jarak
yang begitu dekat. Sungguh karya Tuhan yang luar biasa. Sungguh benar
disepanjang perjalanan kami disuguhkan dengan panorama indah memanjakan mata.
Udara disana terasa sangat dingin. Namun begitu disayangkan, udara yang segar
ternodai oleh polusi udara dari kenalpot kendaraan bermesin diesel pengangkut
manusia. Alam sudah memberikan begitu
segarnya udara, kenapa harus dikotori ulah manusia.
Sampailah kami di Dieng. Poster
selamat datang bertuliskan “Welcome to Telaga Warna”, menambah rasa penasaran
kami tentang ada apa di dalam sana. Tak membuang waktu, kami bergegas masuk
melalui pintu utama. Kami melangkah dan tak lama kemudian kami melihat hamparan
telaga yang sangat memukau. Dan bila diamati, telaga itu memang benar- benar
berwarna, seperti namanya. Ada yang berwarnakan hijau dan ungu, sungguh sangat
indah. Kami bersama- sama mengitari telaga itu. Menyusuri jalan setapak di
sekeliling telaga. Tak lupa kami mengabadikan setiap momen berlatarbelakangkan
telaga itu. Sungguh beruntung karena pada saat itu cuaca sangat mendukung.
Mentari bersinar terang tanpa kawalan awan mendung. Namun udara masih terasa
dingin dengan aroma belerang khas telaga yang terbentuk karena proses vulkanik.
Chapter
2: Top of The World
Daerah Telaga Warna ini
merupakan kawasan wisata yang terkenal. Banyak sekali wisatawan yang jauh- jauh
datang untuk menikmati pamandangan. Kami juga menjumpai para petani yang beraktivitas
mengairi lahan pertaniannya. Bekerja tak peduli lelah untuk mencari penghasilan
dari hasil pertanian mereka. Sesaat kami ragu akan jalan setapak yang kami
ambil, dari pada kami tersesat dan tak tau arah kami memutuskan untuk bertanya
pada salah satu petani yang sedang duduk- duduk di tepi telaga. Kami bertanya,
bapak petani menjawab dengan ramahnya. Dan tak disangka bapak petani itu
berkenan untuk bangkit berdiri, melangkah dan menunjukan jalan. Kali ini bukan
jalan untuk pulang tetapi jalan ke arah bukit yang menawarkan pemandangan yang
katanya lebih indah. Kami mengikuti bapak petani itu menaiki bukit yang lumayan
terjal. Sering kami istirahat untuk mengambil nafas karena memang jalannya
cukup jauh dan terus menanjak. Tangan kami harus bergandengan untuk menaiki
jalan batu satu dengan yang lain. Sungguh perjalanan yang cukup melelahkan.
Akhirnya kami sampai di puncak bukit itu dan wow…benar sekali apa kata bapak
petani itu. Di puncak itu mata kami bisa melihat hamparan pemandangan telaga
dari atas. “We were like on the top of the world”. Mungkin itu adalah kata-
kata yang bisa mewakili perasaan kami saat itu. Benar- benar pemandangan yang menakjubkan.
Lelah dan letih seakan sirna dan senyum selalu muncul di wajah kami saat itu. Ingin
rasanya berlama- lama di puncak menikmati angin yang meniupkan udara yang
sangat segar. Namun apa daya kami tak punya waktu lama untuk bersantai diatas
sana. Kami harus mengatur dan memanfaatkan waktu kami sebaik mungkin agar nanti
kami tak kemalaman saat perjalanan pulang. Perlu di ketahui bahwa perjalanan
pulang pada malam hari sangatlah berbahaya terlebih rute pulang melewati daerah
kebun teh Tledung yang terkenal akan kabutnya yang pekat dan dingin yang turun
setelah hari mulai petang. Kami bermaksud untuk menghindari kabut itu sehingga
kami harus rela turun bukit karena waktu sudah menunjukan pukul 12.44 WIB.
Akhirnya kami turun, masih dalam kawalan bapak petani tadi namun kami tidak
melewati rute yang sama. Kami menyusuri rute jalan setapak yang berbeda namun
masih sarat dengan jalan bebatuan nan terjal yang memompa adrenalin. Rute yang
kami ambil kali ini tetap saja mengitari telaga yang sama yaitu Telaga Warna
dan Telaga Pengilon. Tetap menyuguhkan panorama yang luar biasa.
Di tengah perjalanan turun, tak kami
sangka ada bangunan besar yang dibangun sengaja untuk menampilkan film singkat
sejarah Dieng, bangunan itu diberi nama Dieng Plateu Theater. Dengan harga
tiket masuk yang tak terlalu mahal, wisatawan bisa menikmati sekaligus menambah
wawasan tentang sejarah yang terjadi di daerah Dieng. Kami berenam memang tak
ada niat untuk menontonnya karena kendala waktu. Kami hanya menikmati hangatnya
kentang goreng yang dijual disekitar Dieng Plateu Theater. Kentang asli Dieng
memang mempunyai cita rasa yang berbeda dengan kentang dari daerah lain. Apa
lagi di goreng langsung di tempat dan dimakan di udara yang dingin, makin lahap
kami memakannya cukup untuk mengganjal perut. Disekitar tak hanya kentang
goreng yang dijual namun juga ada yang menjajakan souvenir bertuliskan Dieng
untuk buah tangan. Lanjut kami berjalan turun masih dengan kudapan kentang
goreng ditangan.
Akhirnya kami sampai di bawah,
capek dan lapar memang sudah tak tertahankan. Kami berhenti di sepetak tanah
yang datar cocok utuk mengistirahatkan kaki. Di situ sang kekasih mulai membuka
tas berisikan lauk pauk buatannya sendiri dibantu oleh sang ibu. Tak ada rasa
egois, makanan itu dibagi sama rata. Beberapa daging ayam pedas dan lauk lain
yang menggoda selera langsung kami lahap tanpa ada sisa. Tidak kalah beberapa
kue pencuci mulut, kami nikmati bersama. Setelah perut dapat asupan dan
mengalirkan energi ke seluruh tubuh, kami siap meneruskan perjalanan yang
sempat terhenti. Masih ada waktu sedikit untuk mengekplor daerah ini. Kami
berjalan lagi dan menemukan beberapa gua- gua yang konon digunakan untuk bermeditasi. Memang bisa dibayangkan, bila
dahulu daerah ini masih sangat sepi jauh dari peradaban. Tak heran di sini
ditemukan beberapa tempat untuk bermeditasi mencari pencerahan.
Chapter 3: Say
Goodbye
Tepat pukul 14.46 WIB, kami keluar
dari pintu keluar Telaga Warna. Senyum masih terlihat di wajah kami karena ada
kepuasan batin yang mendalam walaupun lelah dan letih mendera. Tak jauh dari
situ ada penduduk lokal yang menjajakan makanan dan souvenir yang lebih banyak
jumlahnya dan lebih beraneka ragam. Dapat dijumpai berbagai makanan khas Dieng
seperti buah carica ataupun cabai raksasa yang kulitnya mirip seperti buah
tomat. Terlihat aneh memang, namun sudah merupakan makanan khas yang patut
dibeli untuk oleh- oleh karena tidak kita jumpai di daerah lain. Setelah cukup
membeli oleh- oleh, kami duduk di jok tunggangan kami masing- masing dan siap
untuk memulai perjalanan pulang.
Kalau sudah sampai Dieng, sepertinya
ada yang kurang kalau belum menginjakan kaki ke wisata kebun teh Tambi. Memang
tempat itu terdengar sangat sederhana yaitu hanya hamparan kebun teh, tetapi
jangan lah kaget kalau tempat ini masih sanggup menawarkan panorama nan hijau
yang tak kalah memanjakan mata dan udara sejuk bebas dari polusi. Cocok untuk
orang- orang kota yang berbeban berat karena pikiran dan mata terasa segar
kembali di sini. Jangan lupa untuk mengabadikan diri berlatarbelakangkan kebun
teh ini.
Setelah berfoto ria, berat rasanya
untuk meninggalkan tempat seperti ini. Namun waktu sudah menunjukan pukul 16.23
WIB. Sudah waktunya kami benar- benar pulang. Meskipun lelah namun masih ada
hasrat untuk kembali berpetualang ke Dieng dan sekitarnya lagi karena sekarang
ini tempat indah dan sejuk seperti ini sudah sangat jarang kita jumpai. Banyak
tempat yang harusnya bisa kita pertahankan hijau dan menjadi paru- paru kota
malah hancur diterpa semen dan beton yang keras. Gedung- gedung mewah menjulang
tinggi, hitam aspal ada dimana- mana hanya untuk memfasilitasi mobil- mobil
mewah tak peduli kelangsungan hidup sang alam yang terus terhimpit dan
tertindas oleh roda zaman.
Chapter 4: Dari Kabut
Sampai Ambarawa
Meliak- liuk berkendara menyusuri
jalan pegunungan. Tatapan pun linu karena cahaya lampu yang menyilaukan. Fokus
ke depan hindari lubang- lubang mematikan aspal jalanan. Ketakutan akan kabut
di Tledung pun terjawab sudah. Terlalu malam kami lewat, kabut pun turun. Namun
beruntung bagi kami karena kabut tak turun dengan pekatnya, sepertinya kabut
masih berbelas kasihan kepada kami. Jarak pandang masih bisa jauh ke depan. Namun
yang menyiksa adalah udara malam khas pegunungan yang dingin menusuk tulang.
Perlu kami berhenti sejenak untuk bertukar kaos tangan bahkan kami merangkap
tambahan baju, jaket atau apapun yang bisa membuat badan sedikit lebih hangat.
Perjalanan yang menyiksa itu
pun berakhir saat kami sampai di kota yang bernama Temanggung. Udara yang lebih
hangat bisa kami rasakan dengan jelas. Tak lagi menggigil, berkendara pun jauh
lebih santai. Namun jangan terlena dengan kehangatan kota ini, setelah melewati
kota Temanggung, kami harus bertarung dengan mesin- mesin berat pengangkut
pasir yang bergerak lambat. Diterpa solar yang hitam pekat tak membuat kami
mundur untuk sampai di tujuan yaitu rumah kami. Harus sering menoleh belakang,
menunggu kawan yang tertinggal di antara kawanan monster- monster besi
penggilas aspal. Mata harus jeli menerabas celah- celah kecil di antara roda-
roda besar agar cepat sampai di tujuan. Sungguh ironi memang, ingin istirahat
meluruskan punggung namun harus mengambil resiko yang begitu besar.
Tekad dan niat berhasil membawa kami
di kota yang bernama Ambarawa. Disini kami istirahat dan bercerita masih bertemakan
petualangan di Dieng. Rasa capek sepertinya tak menghalangi lidah kami yang
masih bertenaga untuk terus bercerita tentang pengalaman yang sangat luar biasa
ini. Ini akan menjadi kenangan yang tak terlupakan.
Rasa lelah kami terbayar lunas
dengan kepuasan berpetualang. Keindahan alam ciptaan Tuhan dan canda tawa
kebersamaan adalah pesan yang dapat kami ambil dari petualangan kami kali ini.
Tunggu kami di kisah petualangan- petualangan kami berikutnya…..SEE YOU…
Thx to:
Dewanti (iloveu)
Tyas
Febrika
Fatra
Nandu
jadi novelis aja kamu yank :)
BalasHapuswaaahh....kamu aja deh yang jadi novelis...aku yang jadi kritikusna....wkwkwkwkwk
BalasHapus